Rabu, 16 Juli 2008

orang orang bercemeti

Orang-orang Bercemeti

Kebijakan ekonomi, politik, dan sosial Pemerintah makin tak berpihak kepada rakyat. Mereka hanya menjalankan blue print kebijakan yang disiapkan negara asing dan antek-anteknya, sementara rakyat hidup semakin sengsara. Merekakah orang-orang zalim yang digambarkan Rasulullah sebagai orang-orang bercemeti ekor sapi?

Sagai tikus yang sekarat di lumbung padi. Itulah perumpamaan yang paling tepat untuk menggambarkan kondisi rakyat indonesia saat ini. Meski negeri ini kaya minyak, rakyatnya justru tengah dicekik harga bahan bakar minyak (BBM) yang terus membubung.

Tak sekadar mahal, minyak pun langka. Hanya untuk mendapat lima liter minyak tanah, rakyat harus mengantri sejak subuh dan dipanggang matahari. “Ini sudah seperti zaman Orde Lama,” kata Slamet, seorang warga Magelang, Jawa Tengah. Akhirnya, banyak warga kembali ke cara kuno: memasak dengan kayu bakar.

Hari-hari belakangan ini, banyak ibu-ibu rumah tangga yang kebingungan saat berbelanja ke pasar. Mereka menyadari, betapa harga-harga bahan pokok telah berlomba gara-gara kenaikan BBM, hingga uang belanja tak cukup lagi. Uang ‘permen’ bantuan langsung tunai (BLT) ludes setelah dipakai untuk membeli 15 liter beras, sekilo minyak goreng, sayur, ikan asin atau tempe.

Kalaupun harga lauk masih terjangkau seperti tempe-tahu, ukurannya jadi makin mini. Di rumah anak-anak kini hanya makan seadanya. Generasi muda kini banyak yang kekurangan gizi, terkena busung lapar dan merasmus. Orangtua mereka pun akhirnya hanya bisa menangis menahan sedih dan lapar. Yang tak kuat menahan beban hidup akhirnya stres, dan semakin banyak yang menjadi pasien Rumah Sakit Jiwa. Pemerintah tampaknya telah menutup mata terhadap penderitaan rakyat kecil.


Kebijakan Ekonomi Neo Liberal

Persoalan itu baru satu contoh kerusakan ekonomi yang diakibatkan penerapan agenda besar Mafia Berkeley. Mafia Berkeley adalah sebutan bagi sekelompok ekonom yang dipercaya Jenderal Soeharto pada masa awal Orde Baru untuk mengelola ekonomi. Mereka disebut Mafia Berkeley karena sebagian besar lulusan doktor atau master dari University of California at Berkeley di Amerika Serikat, pada tahun 1960-an atas bantuan Ford Foundation.

Mereka telah disiapkan Amerika sejak Presiden Soekarno berkuasa, untuk memperluas dan melanggengkan pengaruhnya di Indonesia semasa Perang Dingin. Para ekonom itu antara lain Widjojo Nitisastro, Emil Salim, Ali Wardhana, JB Soemarlin, dan M Sadli. Setelah lewat masa Orde Baru, agenda Mafia Berkeley ini diteruskan oleh para anak didik mereka, seperti Gubernur Bank Indonesia Boediono dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

Kebijakan ekonomi Mafia Berkeley mentah-mentah mengadopsi kebijakan ekonomi yang dirancang International Monetary Fund (IMF) dan World Bank yang dikenal dengan nama Konsensus Washington. Tema besarnya kini dikenal sebagai agenda ekonomi neoliberal. Secara umum, agenda mereka terbagi dalam empat kebijakan pokok: liberalisasi keuangan, liberalisasi perdagangan, kebijakan uang ketat (pengurangan subsidi) dan privatisasi BUMN.

Kebijakan uang ketat, seperti kenaikan harga BBM yang berarti pemotongan subsidi BBM, ditujukan untuk mengendalikan stabilitas makro dan menekan laju inflasi. “Namun, sungguhnya maksud tersembunyi dari kebijakan anggaran ketat ini adalah agar tersedia surplus anggaran agar Indonesia dapat membayar utang luar negeri yang dikucurkan IMF,” kata ekonom UGM DR. Revrisond Baswir. Artinya, Pemerintah rela mencambuk rakyat sendiri untuk membayar jebakan utang yang dirancang para antek asing bersama majikannya.

Pada masa Presiden Yudhoyono, Pemerintah menyerahkan pengelolaan Blok Cepu kepada Exxon Mobil dari Amerika Serikat. Padahal potensi minyak bumi yang dikandung di dalamnya ditaksir mencapai 10,96 miliar barel minyak, termasuk 62,64 TCF gas. Jika dikalkulasikan secara matematis, diperoleh pendapatan kotor sebesar 165,74 miliar dolar AS atau sekitar 1.500 triliun rupiah.

Berbagai undang-undang pesanan asing pun disiapkan untuk memuluskan penguasaan asing atas kekayaan alam Indonesia seperti UU Sumberdaya Air, UU Migas, UU Kelistrikan, UU Pertambangan dan sebagainya. Tak hanya di DPR, semua Departemen pun penuh dengan antek-antek asing yang menyiapkan draft semacam itu untuk melego kekayaan alam Indonesia. Padahal seharusnya rakyat Indonesialah yang menikmati kekayaan alam yang diberikan Allah ini, bukan Amerika dan antek-anteknya.

Kini privatisasi sedang terjadi. Pemerintah memaksa sejumlah BUMN masuk bursa dan dijual. Padahal mereka bukan perusahaan yang merugi, tetapi justru selalu untung besar. Begitu masuk bursa, saham mereka langsung dicaplok investor asing. Misalnya, PT Telkom, Indosat, Semen Gresik, Bank Mandiri, Bank Rakyat Indonesia, Kimia Farma, Adhi Karya, Perusahaan Gas Negara dan PT Bukit Asam. Kini 85 persen saham mereka dikuasai asing.

Belum puas dengan penjualan tadi, Pemerintah akan melego 34 BUMN dan melanjutkan penjualan 3 BUMN yang tertunda pada 2007. Ke-37 BUMN ini akan dijual lewat IPO di bursa efek dan lewat penjualan strategis langsung ke investor yang ditunjuk. Sasaran utama penjualan BUMN kali ini PT Perusahaan Listrik Negara. Dengan alasan merugi akibat harga BBM yang terus melambung, Pemerintah mendesak agar PLN diswastanisasi.

Dengan istilah keren privatisasi, penjualan saham BUMN ini adalah obral perusahaan terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Pada periode 1991-2001 Pemerintah 14 kali menjual BUMN dengan jumlah 12 BUMN. Pada periode 2001-2006 Pemerintah 14 kali menjual BUMN dengan jumlah 10 BUMN. Kebijakan ini adalah bom privatisasi, karena dalam setahun 37 BUMN akan dilego.

Obral besar-besaran ini tak lepas dari agenda Kapitalisme Neoliberal, baik negara-negara kapitalis terutama Amerika, IMF, Bank Dunia, ADB, maupun perusahaan multinasional. “Lewat para konsultan mereka di berbagai instansi, mereka merancang skenario agar Pemerintah melepas seluruh BUMN dan menyerahkan kepada investor dengan alasan agar BUMN lebih efisien dan menguntungkan,” kata ekonom dari ECONIT, DR. Hendri Saparini.

Padahal pada kenyataannya, di samping untuk mensukseskan agenda ekonomi kalangan neoliberal, obral besar-besaran ini juga mengindikasikan adanya upaya perampokan harta negara menjelang Pemilu 2009. “Privatisasi 2008 adalah salah satu ladang potensi korupsi,” kata Fahmi Badoh, dari Indonesia Corruption Wacth (ICW). Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) juga mulai mengendus transaksi-transaksi mencurigakan menjelang Pemilu 2009.

Dengan obral besar ini, ratusan triliun rupiah aset negara terlepas dari tangan rakyat dan hanya memuaskan kerakusan Kapitalisme dan anteknya. Program Mafia Berkeley ternyata bukan mencari untung untuk negara, tetapi bagaimana menjual milik negara dengan harga murah meriah. Padahal menurut syariah Islam, perusahaan yang menguasai hajat hidup orang banyak, terutama di sektor pertambangan, adalah milik umum sehingga Pemerintah tidak berhak menjualnya kepada swasta dan asing.

Sementara itu, seiring dengan kenaikan harga minyak dunia yang melebihi prediksi saat penyusunan APBN, Departemen Keuangan mengubah strategi menutup defisit APBN dari hanya mengandalkan penerbitan surat berharga negara ke utang luar negeri dengan, lagi-lagi, ngutang. Sebab, Pemerintah sulit menyerap dana murah dari pasar modal. “Pinjaman luar negeri adalah pertahanan kedua dalam menutup defisit,” kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan Anggito Abimanyu.

Dengan bangga Anggito mengatakan bahwa Pemerintah dan Panitia Anggaran DPR telah sepakat menambah utang luar negeri untuk menutup defisit APBN Perubahan 2008, dari Rp 19,1 triliun menjadi Rp 26,4 triliun. Sumber utangnya dari World Bank, Asian Development Bank dan Pemerintah Jepang. “Padahal upaya Depkeu menambah utang ini hanya membawa Indonesia terperosok ke dalam jebakan utang yang makin dalam,” kata Koordinator Koalisi Anti Utang, Kusfiardi.

Repotnya, ketika kondisi ekonomi terancam gagal, Pemerintah harus unjuk kemampuan bahwa dapat mengentaskan kemiskinan agar bisa dikatakan berhasil. Tujuannya agar Yudhoyono terpilih lagi dalam Pemilu 2009 nanti. Lalu statistical engineering dirancang untuk menutupi kebobrokan ekonomi. Cara paling gampang adalah memacu program penghapusan kemiskinan menjelang berakhirnya masa pemerintahan. Program penghapusan kemiskinan itu ditempuh lewat kombinasi pemberian bantuan langsung tunai, beras miskin, dan program padat karya, agar target penurunan tingkat kemiskinan tercapai pada 2009.

World Bank pun ingin ikut mensukseskan program pengentasan kemiskinan. Mereka kini mensosialisasikan metode penghitungan angka kemiskinan baru. “Mereka berkepentingan agar seolah-olah ikut mengentaskan kemiskinan karena 20 persen dana anggaran kemiskinan berasal dari utang ke World Bank,” kata Hendri. Dalam hitungan baru itu beberapa faktor dikeluarkan dari basket perhitungan kebutuhan pokok masyarakat. Misalnya harga cabe dikeluarkan dari faktor hitungan sehingga hasilnya rakyat kelihatan tidak miskin lagi.


Kebijakan Politik yang Menghamba

Kebijakan politik dan pertahanan di negeri ini pun manut pada kepentingan Amerika Serikat. Ketidakberanian Indonesia menyatakan “Tidak!” pada upaya Amerika yang ingin menghukum Iran gara-gara memiliki reaktor nuklir dengan resolusi PBB menjadi contoh. Indonesia hanya berani memberikan suara abstain dalam voting resolusi no. 1803 yang ditujukan kepada Iran di Dewan Keamanan PBB, empat bulan lalu. Maklumlah, Indonesia sudah merasa sangat diuntungkan setelah atas dukungan Amerika Serikat diangkat menjadi anggota tidak tetap DK-PBB.

Kunjungan Presiden George W Bush di Indonesia November 2006 membuktikan betapa Pemerintah Indonesia hanya menghamba pada titah sang negara adidaya.

Contoh lain adalah masalah NAMRU-2. Masalah NAMRU-2 marak ketika Menteri Kesehatan Siti Fadhillah Supari menyuruh Kepala Balitbangkes Dr Triono Soendoro merilis surat penghentian operasi NAMRU-2, 31 Maret lalu. NAMRU-2 diminta menghentikan operasi sampai MoU baru diteken. Triono pun merilis Edaran untuk para Direktur Rumah Sakit Umum, Daerah dan Swasta; para Rektor, Dekan Fakultas Kedokteran, Farmasi, Kesehatan Masyarakat, dan MIPA di seluruh Universitas Negeri maupun Swasta di Indonesia; serta para Kepala Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten se Indonesia, agar menghentikan pengiriman spesimen biologis ke NAMRU-2.

Panglima Tentara AS di Pasifik Laksamana Timothy J. Keating datang setelah surat penghentian operasi muncul. Usai bertemu Presiden ia menegaskan NAMRU-2 akan tetap operasi di Indonesia. Presiden George W Bush juga mengutus Menkes Michael O Leavitt.

Begitu surat penghentian kegiatan NAMRU-2 dirilis, Presiden Yudhoyono segera memanggil Siti Fadilah. “Itu tidak perlu, Bu. Toh, NAMRU sudah banyak berjasa kepada kita,” kata seorang sumber di Departemen Kesehatan mengutip pembicaraan SBY dengan Siti Fadilah kepada Tabloid Suara Islam. SBY pun meminta Wirajuda dan Juwono agar tetap memberikan visa diplomatik kepada setengah dari 60 orang yang diminta. “Kasih saja setengah,” ujarnya. Masukan ke SBY tentang NAMRU-2 konon berasal dari Juru Bicara Presiden Dino Patti Djalal yang sangat dekat dengan Amerika Serikat.

Padahal meski laboratorium itu berada di lingkungan Balitbangkes, Menteri Kesehatan tak pernah mendapat laporan hasil penelitian NAMRU-2. Mereka juga tak pernah menyertakan dokumen Material Transfer Agreement, yang penting untuk pelacakan spesimen biologis, menyangkut dampak kesehatan maupun nilai ekonomisnya. Meski mengaku meneliti malaria, demam berdarah, TBC dan hepatitis, hingga kini penyakit-penyakit itu pun masih berjangkit.

Alotnya pembahasan NAMRU-2 bukan tanpa alasan. Sebab, MoU NAMRU-2 adalah satu dari tiga deal utama yang menandai pengaruh AS di Indonesia. Deal pertama adalah masuknya Indonesia ke Internasional Monetary Fund (IMF) dan World Bank yang intinya Amerika Serikat menjadi tim asistensi ekonomi Indonesia. Deal ke dua adalah penyerahan pengelolaan tambang ke sejumlah perusahaan AS. “Makanya Amerika ngotot mempertahankan NAMRU-2,” kata Siti Fadilah.

Sejak semula, operasi NAMRU-2 memang agak mencurigakan. Selain boleh menjelajah ke seluruh pelosok Tanah Air dengan status kebal diplomatik, dalam penelitian malaria di Papua, peneliti NAMRU-2 ternyata tak hanya mengambil sampel darah warga. Mereka juga memetakan situasi, topografi, dan penyebaran penyakit dengan cara tak lazim. “Mereka mengumpulkan data pos militer, jarak lokasi penyebaran penyakit dengan kantor pemerintahan, dan memetakan lokasi dengan detail,” kata seorang peneliti Balitbangkes.

Sebagai rekanan World Health Organization (WHO) dalam penanggulangan dan penelitian malaria, demam berdarah, HIV/AIDS dan flu burung mereka meminta seluruh rumah sakit umum, daerah maupun swasta, dan Puskesmas untuk mengirimkan sampel darah pasien ke NAMRU-2. Anehnya, ketika Pemerintah sibuk menghadapi bencana nasional demam berdarah dan flu burung, mereka justru hanya diam saja.

Bulan lalu, Departemen Luar Negeri telah menerima draf MoU NAMRU-2 dari Amerika Serikat. Karena itu, pula Duta Besar Cameron M Hume mulai kasak-kusuk. Bersama Direktur NAMRU-2, Captain Trevor R. Jones, ia bertemu Ketua DPR Agung Laksono awal bulan lalu. Mereka meminta dukungan DPR agar anggota NAMRU-2 yang mendapat kekebalan diplomatik tak hanya dua orang seperti draft Indonesia. “Jelas sekali ada tekanan Amerika,” kata anggota Komisi I Yusron Ihza Mahendra.


Sekularisme dan Liberalisme Merajalela

Kebijakan lain yang mendera masyarakat dan umat Islam adalah kebijakan liberal dan sekular dalam bidang sosial kemasyarakatan. Dengan dalih demokratisasi dan kebebasan, semua hal dibolehkan, termasuk upaya pendangkalan akidah dan moral anak negeri lewat berbagai media cetak pornografi, pembiaran tayangan seks dan kekerasan di media elektronik dan semakin bebasnya kelompok-kelompok amoral, lesbian dan homoseks berkembang di Indonesia.

Dengan dalih kebebasan pers, Pemerintah ogah menertibkan, apalagi memberangus majalah, tabloid dan koran-koran porno seperti Playboy, For Him Magazine, Popular, Lampu Merah, Non Stop dan sebangsanya. Upaya kaum Muslim untuk memberangus Playboy dan majalah porno lainnya malah dipidanakan dan dikatakan telah mengganggu ketertiban umum. Sebaliknya, keinginan agar Pemerintah menertibkan jaringan internet dengan memblokir situs-situs porno tak kesampaian. Bahkan Indonesia kini terkenal sebagai salah satu konsumen situs porno terbesar di dunia.

Keinginan umat Islam agar Pemerintah segera mengesahkan Rencana Undang-undang Anti Pornografi dan Pornoaksi hingga kini masih mentok. Padahal ratusan demo dan pengerahan massa untuk mendesak pengesahan draft RUU-APP sudah dilakukan. Namun, hingga kini RUU-APP masih ngendon di DPR, sementara Pemerintah hanya seolah menunggu bola muntah. Bahkan menurut kabar RUU-APP kini sedang dibelokkan oleh para antek asing agar menjadi RUU yang tanpa gigi.

Tidak hanya urusan moral, urusan akidah umat pun tak diperhatikan. Keengganan Pemerintah untuk membubarkan aliran Ahmadiyah adalah contoh nyata. Padahal Ahmadiyah sudah jelas kesesatannya karena menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi setelah Nabi Muhammad saw. Mereka pun meyakini Tadzkirah sebagai kitab suci selain al-Quran. Padahal kitab itu berisi ayat-ayat yang diotak-atik gatuk dan dikatakan sebagai wahyu yang diterima Mirza Ghulam Ahmad.

Menurut kabar dari lingkungan Istana, Presiden Yudhoyono mulai gamang untuk membubarkan Ahmadiyah setelah menerima surat protes dari pemerintah Amerika Serikat, Inggris dan Kanada yang meminta agar aliran Ahmadiyah jangan sampai dibubarkan. “Presiden rupanya sangat terpengaruh dengan surat itu,” Kata Sekjen FUI Muhammad al-Khaththath. Hal ini membuktikan betapa selama ini Ahmadiyah telah menjadi alat kolonialis untuk menghancurkan Islam.

Pemerintah memang telah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri tentang Ahmadiyah. Surat itu baru keluar setelah didemo umat Islam, pasca bentrokan Monas antara massa FPI dan Komando Laskar Islam yang diprovokasi massa Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB). Namun, umat Islam tetap menuntut Ahmadiyah harus dienyahkan dari bumi Indonesia.


Kezaliman Penguasa

Dalam sebuah hadis yang tercantum dalam Musnad Imam Ahmad, 5/250, diriwayatkan oleh Abu Umamah ra., bahwa Rasulullah pernah bersabda: Akan muncul orang-orang dari kalangan umat ini pada akhir zaman. Mereka membawa cemeti seperti ekor sapi (untuk memukuli manusia). Pada pagi dan petang hari mereka selalu dalam kemurkaan dan kebencian Allah (HR Ahmad).

Dalam bentuk lain, hadis itu diriwayatkan pula oleh Imam ath-Thabrani dalam kitab Al-Mu’jam al-Kabir. Dalam hadis itu, diriwayatkan bahwa Rasululah bersabda: Akan muncul pada akhir zaman, pegawai-pegawai pemerintahan yang pada pagi harinya dimurkai Allah dan pada petang hari dibenci-Nya. Karena itu, janganlah kamu termasuk dalam golongan mereka (HR ath-Thabrani).

Kedua hadis itu tercantum pula dalam Iftah al-Jama’ah 1:507-508, dengan derajat hadis sahih. Dalam Al-Jami’ as-Shaghir 3:217, tercatat hadis itu bernomor 3.560. Al-Haitsami berkata bahwa hadis itu diriwayatkan dengan perawi-perawi yang tepercaya. (Maj’ma az-Zawa’id, 5:234).

Jelaslah, sejak 14 abad lalu, Allah dan Rasul-Nya telah menggambarkan akan munculnya para pejabat di kalangan kaum Muslim sendiri yang justru senantiasa berbuat zalim kepada umat Islam. Rasulullah pun telah mengingatkan kaum Muslim agar tidak masuk dalam golongan orang yang senantiasa menindas dan menyengsarakan kaum Muslim.

Sayang, justru saat ini gambaran tentang orang-orang bercemeti ekor sapi itulah yang kini tampil di panggung kekuasaan di negeri ini.

Tidak ada komentar: